Pendekatan perlu dikemukakan secara agak luas dengan pertimbangan bahwa
pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Dalam
pendekatan terkandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik secara
teoretis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun
masyarakat pada umumnya. Dalam pendekatan juga terkandung kemungkinan apakah
penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya.
Pendekatan sosiologi sastra jelas berbeda dengan psikologi sastra, pendekatan
ekspresif berbeda dengan pragmatik, disebabkan dari sudut mana peneliti
memandangnya, kendala-kendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian, dan
kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap hasil penelitian.
Penelitian sebagian besar, bahkan secara keseluruhan ditentukan oleh
tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan tersebut.
Oleh karena itulah, dalam pembicaraan ini pendekatan dikemukakan secara agak
luas. Seperti telah disinggung di atas, pendekatan dibedakan baik dengan teori
maupun metode. Pada dasarnya dalam rangka melaksanakan suatu penelitian,
pendekatan mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah
yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, kemudian diikuti dengan penentuan
masalah teori, metode, dan tekniknya. Pembicaraan terhadap novel Belenggu, misalnya,
peneliti diasumsikan telah memiliki paradigma sastra sebagai hasil imajinasi.
Dengan hakikat imajinasi maka penelitian dilakukan melalui pemahaman, bukan
pembuktian. Langkah berikutnya adalah menentukan model pendekatannya, yang
diikuti dengan penentuan pemilihan teori, metode, dan teknik. Dalam
pembicaraan berikut, pendekatan akan menjadi jelas keberadaannya sesudah
dihubungkan dengan teori yang akan dikemukakan pada bagian berikut.
Pendekatan juga mengarahkan
penelusuran sumber-sumber sekunder, sehingga peneliti dapat memprediksikan
literatur yang harus dimiliki, perpustakaan dan toko-toko buku yang akan
menjadi objek sasarannya. Model-model pendekatan perlu dibedakan secara jelas,
baik dengan metode dan teori seperti di atas, maupun di antara model-model
pendekatan yang lain. Masalah pendekatan dalam ilmu sastra di Indonesia perlu
mendapat perhatian yang lebih serius dengan pertimbangan bahwa dalam sastra
Indonesia penelitian seolah-olah lebih bersifat praktis daripada teoretis. Hal
ini diakibatkan oleh keberadaan sastra Indonesia sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan kebudayaan di satu pihak, kurangnya pemahaman mengenai
teori sastra di pihak yang lain. Seperti diketahui, khazanah sastra semata-mata
didominasi oleh perdebatan pendapat antara menerima dan menolak teori sastra
Barat, dibandingkan dengan menciptakan teori baru yang khas Indonesia. Atas dasar
penjelasan di atas, maka model pendekatan sastra yang perlu dikemukakan, di
antaranya: pendekatan biografi sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra,
antropologi sastra, historis, dan mitopoik, termasuk pendekatan model Abrams,
yaitu ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif.
1.
Pendekatan
Biografis
Menurut Wellek dan Warren (1962:
75), model biografis dianggap sebagai pendekatan yang tertua. Pendekatan biografis
merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Subjek kreator
dianggap sebagai asal-usul karya sastra, arti sebuah karya sastra dengan
demikian secara relatif sama dengan maksud, niat, pesan, dan bahkan
tujuan-tujuan tertentu pengarang. Penelitian harus mencantumkan biografi,
surat-surat, dokumen penting pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung
dengan pengarang. Karya sastra pada gilirannya identik dengan riwayat hidup,
pernyataan-pernyataan pengarang dianggap sebagai suatu kebenaran, biografi
mensubordinasikan karya. Oleh karena itu, pendekatan biografis sesungguhnya
merupakan bagian penulisan sejarah, sebagai historiografi.
Sebagai anggota masyarakat, pengarang dengan sendirinya lebih berhasil
untuk melukiskan masyarakat di tempat ia tinggal, lingkungan hidup yang
benar-benar dialaminya secara nyata. Oleh karena itulah, seperti juga ilmuwan
dari disiplin yang lain dalam mengungkapkan gejala-gejala sosial, pengarang
juga dianggap perlu untuk mengadakan semacam 'penelitian' yang kemudian secara
interpretatif imajinatif diangkat ke dalam karya seni.
Oleh karena itu pula, dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakanm
tiga macam pengarang, yaitu:
1.
pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung,
2.
pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali
unsur-unsur penceritaan, dan
3.
pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.
Meskipun demikian, proses kreativitas pada umumnya didasarkan atas gabungan
di antara ketiga faktor tersebut.
Manusia, dan dengan sendirinya pengarang itu sendiri, adalah makhluk
sosial. Meskipun sering ditolak, dalam kasus-kasus tertentu biografi masih
bermanfaat. Dalam ilmu sastra, biografi pengarang, bukan curriculum
vitae, membantu untuk memahami proses kreatif, genesis karya seni. Biografi
memperluas sekaligus membatasi proses analisis. Dalam ilmu sosial, pada
umumnya biografi dimanfaatkan dalam kaitannya dengan latar belakang proses
rekonstruksi fakta-fakta, membantu menjelaskan pikiran-pikiran seorang ahli,
seperti: sistem ideologis, paradigma ilmiah, pandangan dunia, dan kerangka umum
sosial budaya yang ada di sekitarnya.
Dikaitkan dengan pemahaman
sosiologi ilmu pengetahuan (Berger dan Luckmann, 1973: 85—86), pada dasarnya
hanya sebagian kecil dari keseluruhan pengalaman yang berhasil tersimpan dalam
kesadaran manusia. Biografi merupakan sedimentasi pengalaman-pengalaman masa
lampau, baik personal, sebagai pengalaman individual, maupun kolektif, sebagai
pengalaman intersubjektif, yang pada saat-saat tertentu akan muncul kembali.
Tanpa sedimentasi, individu tidak dapat mengenali biografinya. Melalui sistem
tanda, khususnya sistem tanda bahasa, sedimentasi pengetahuan ditransmisikan ke
dalam aktivitas yang berbeda-beda. Moral, religi, karya seni dalam berbagai
bentuknya, dan sebagainya, merupakan hasil seleksi sedimentasi pengalaman masa
lampau. Makin kaya dan beragam isi sedimentasi yang berhasil untuk direkam,
makin lengkaplah catatan biografi yang berhasil dilakukan.
Apabila analisis sosiologis berusaha memahami struktur biografi sebagai
bagian integral subjek kreator dalam struktur sosial, analisis sastra secara
otonom memahaminya sebagai gejala yang komplementer, pengarang sebagai
depersonalisasi. Sejak lahirnya strukturalisme, baik sebagai metode maupun
teori, biografi dianggap sebagai pengertian ambivalensi, bahkan sebagai kekeliruan
biografi. Penolakan yang paling mendasar terhadap eksistensi subjek kreator
dilakukan dalam sastra kontemporer, yang disebut kematian
pengarang, sebagai anonimitas. Barthes (1977:145), misalnya, mengatakan bahwa
proses pembacaan yang berhasil justru dengan membayangkan pengarangnya tidak
hadir. Dengan kematian subjek kreator, maka karya sastralah yang menjadi pusat
perhatian.
Berdasarkan penjelasan di atas, analisis kontemporer memandang subjek
kreator sekaligus sebagai individu dan anggota masyarakat. Dalam masing-masing
individu terkandung dua unsur yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu
unsur jasmaniah dan rohaniah, unsur intelektualitas dan emosionalitas,
kesadaran individu dan kolektif. Seniman memberikan perhatian yang mendalam terhadap
kedua unsur, menampilkannya dalam posisi yang seimbang, ke dalam totalitas
karya, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, pengarang memiliki posisi yang tinggi.
Kepengarangan dengan demikian dikaitkan dengan kualitas rohaniah, seperti
intelektualitas dan emosionalitas, moral dan spiritual, didaktis dan
ideologis, yang pada umumnya diasumsikan sebagai memiliki ciri-ciri positif.
Pengarang dalam hal ini dianggap memiliki fungsi ganda, kompetensi dalam
merekonstruksi struktur bahasa sebagai medium, sekaligus menopang stabilitas
struktur sosial. Oleh karena itulah, pengarang juga disebut sebagai pujangga,
empu, dan kawi. Fungsi-fungsi elemental pengarang seperti di atas mendorong
penelitian pada pemahaman total terhadap subjek. Analisis tidak terbatas pada
karya, melainkan melangkah lebih jauh pada penelusuran identitas personal,
sebagai biografi. Seperti disinggung di atas, zaman keemasan studi biografi
adalah abad ke-19.
Dikaitkan dengan perkembangannya di Barat, pengarang ternyata memiliki
sejarahnya yang sangat panjang. Menurut Teeuw (1988: 155-169), pengarang
telah dibicarakan sejak abad pertama, melalui tulisan Longinus, yang
menjelaskan peranan perasaan dalam proses mencipta. Gagasan ini muncul kembali
dan mengalami zaman keemasan pada abad ke-19, pada abad Romantik. Pendekatan
biografis mulai ditinggalkan awal abad ke-20 sejak dimanfaatkannya teori
strukturalisme. Seperti diketahui, ciri khas strukturalisme adalah analisis ergo-centric,
analisis yang sama sekali menolak relevansi unsur-unsur di luarnya,
termasuk biografi pengarang. Konsekuensi logis yang ditimbulkannya adalah
lahirnya berbagai teori yang berusaha mendekonstruksi peranan pengarang,
seperti: kekeliruan intensi pengarang (Wimsatt dan Beardsley), kelas sosial
pengarang (Goldmann), pengarang tersirat (Wayne Booth), peranan sudut pandang
(Percy Lubbock), enam fungsi bahasa (Jakobson), peranan tindak kata (Pratt).
Teori resepsi dan interteks, dan yang terpenting sekaligus paling tendensius adalah
kematian pengarang (Roland Barthes), jelas menolak peranan pengarang secara
langsung. Di Indonesia pendekatan biografis sangat populer sebelum tahun
1960-an, sebelum masuknya teori-teori strukturalisme.
2.
Pendekatan
Sosiologis
Berbeda dengan pendekatan biografis
yang semata-mata menganalisis riwayat hidup, dengan proses pemahaman mulai
dari individu ke masyarakat, pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam
masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.
Pendekatan biografis menganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan
pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat.
Pendekatan sosiologis, sepanjang
sejarahnya, khususnya di dunia Barat selalu menduduki posisi penting. Hanya
selamakurang dari satu abad, yaitu abad ke-20, pada saat strukturalisme
menduduki posisi dominan, pendekatan sosiologis seolah-olah terlupakan.
Pendekatan sosiologis kembali dipertimbangkan dalam era postrukturalisme.
Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara
karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan
oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri
adalah anggota masyarakat, dan c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Perkembangan pesat ilmu humaniora memicu perkembangan studi sosiologis.
Dasar pertimbangannya adalah memberikan keseimbangan terhadap dua dimensi
manusia, yaitu jasmani dan rohani. Para ilmuwan kontemporer makin menyadari
bahwa mengabaikan aspek-aspek rohaniah pada gilirannya membawa umat manusia
pada degradasi mental, bahkan kehancuran.
Sesuai dengan hakikatnya, sebagai sumber estetika dan etika, karya sastra
tidak bisa digunakan secara langsung. Sebagai sumber estetika dan etika karya
sastra hanya bisa menyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah
pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Apabila
manusia sudah tidak mungkin untuk mencari kebenaran melalui logika, ilmu
pengetahuan, bahkan agama, maka hal ini diharapkan dapat terjadi dalam karya
sastra. Dalam sastra, sebagai kualitas imajinatif, setiap manusia dapat
membayangkan dirinya menjadi orang kaya raya, raja, bahkan dewa.
Pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indonesia, baik lama maupun
modern menjanjikan lahan penelitian yang tidak akan pernah kering. Setiap hasil
karya, baik dalam skala angkatan maupun individual,
memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui
model-model pemahaman sosial. Ilmu pengetahuan lain, seperti sosiologi,
sejarah, antropologi, dan ilmu sosial justru menunggu hasil-hasil analisis
melalui pendekatan sosisologis yang akan digunakan untuk membantu memahami
gender, feminis, status peranan, wacana sosial, dan sebagainya. Pendekatan
sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar
mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Oleh karena itulah, pendekatan ini
disenangi oleh tradisi Marxis, tradisi Lekra di Indonesia. Bagi mereka, aspek
estetis karya dianggap memiliki kekuatan besar dalam mengorganisasikan massa.
Teori-teori sosial modern pada gilirannya banyak ditemukan oleh kelompok
Marxis, seperti Lukacs, Gold-mann, Eagleton, Bakhtin, Althusser, Medvedev, dan
Jameson, termasuk Marx sendiri.
3.
Pendekatan
Psikologis
Rene Wellek dan Austin Warren
(1962:81—82) menunjukkan empat model pendekatan psikologis, yang dikaitkan dengan
pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian,
pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama,
yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan
psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Apabila
perhatian ditujukan pada pengarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan
pendekatan ekspresif, sebaliknya, apabila perhatian ditujukan pada karya, maka
model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan objektif.
Pendekatan psikologis awal lebih dekat dengan pendekatan biografis
dibandingkan dengan pendekatan sosiologis sebab analisis yang dilakukan
cenderung memanfaatkan data-data personal. Proses kreatif merupakan salah satu
model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis. Karya sastra
dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang sering dikaitkan dengan
gejala-gejala kejiwaan, seperti: obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi,
bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itulah, karya sastra disebut sebagai salah
satu gejala (penyakit) kejiwaan. Pendekatan psikologis kontemporer, sebagaimana
dilakukan oleh Mead, Cooley, Le-win, dan Skinner (Schellenberg, 1997), mulai
memberikan perhatian pada ineraksi antarindividu, sebagai interaksi simbolis,
sehingga disebutkan sebagai analisis psikologi sosial.
Intensitas terhadap gejala-gejala individual di satu pihak, dominasi psike
di pihak lain, menyebabkan pendekatan psikologis lebih banyak membicarakan
aspek-aspek penokohan, kecenderungan timbulnya aliran-aliran, seperti
romantisisme, ekspresionisme, absurditas, dan sebagainya. Oleh karena itu,
dalam penelitian selanjutnya teori-teori psikologi perlu diperluas ke dalam
wilayah sosiopsikologi dan behaviorisme sosial sebagaimana dikembangkan
kemudian oleh Freud sendiri, khususnya oleh Mead.
Sampai saat ini teori yang paling
banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologi Sig-mund
Freud (1856—1939). Menurutnya, semua gejala yang bersifat mental bersifat tak
sadar yang tertutup oleh alam kesadaran (Schellenberg, 1997: 18). Dengan adanya
ketakse-imbangan, maka ketaksadaran menimbulkan dorongan-dorongan yang pada
gilirannya memerlukan kenikmatan, yang disebut libido. Oleh karena
proses kreatif adalah kenikmatan, dan memerlukan pemuasan, maka proses tersebut
dianggap sejajar dengan libido. Meskipun demikian, teori kepribadian
menurut Freud pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu: a) ld atau Es, b)
Ego atau Ich, dan c) Super Ego atau Uber Ich. Isi Id
adalah dorongan-dorongan primitif yang harus dipuaskan, salah satunya
adalah libido di atas. ld dengan demikian merupakan kenyataan
subjektif primer, dunia batin sebelum individu memiliki pengalaman tentang
dunia luar. Ego bertugas untuk mengontrol ld, sedangkan Super
Ego berisi kata hati.
Meskipun pada awalnya pendekatan
psikologis dianggap agak sulit untuk berkembang, tetapi dengan makin diminatinya
pendekatan multidisiplin di satu pihak, pemahaman baru terhadap teori-teori
psikologi sastra di pihak yang lain, maka pendekatan psikologis diharapkan
dapat menghasilkan model-model penelitian yang lebih beragam. Menurut Milner
(1980: ix—xiv) pada dasarnya penelitian Freud memberikan tempat yang sentral
terhadap sastra, bukan sampingan seperti diduga orang. Freud bertumpu pada Oedipus
Sang Raja karya Sophokles, dan ketaksadaran karya seni khususnya karya sastra.
Dalam proses penelitian, sebagai psikoanalisis Freud bertumpu pada a) bahasa
pasien, jadi juga keterlibatan sastra, b) memakai objek rnimpi, fantasi, dan
mite, yang dalam sastra ketiganya merupakan sumber imajinasi.
4.
Pendekatan Antropologis
Apabila sosiologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai masyarakat, maka antropologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai manusia dalam masyarakat. Oleh karena itulah, antropologi dibedakan
menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang berkembang
menjadi studi kultural. Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi kebudayaan
pun dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan
nonverbal. Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal.
Makin diminatinya model-model
pendekatan multidisipliner menyebabkan para ilmuwan secara terus-menerus mencoba
untuk menggabungkan beberapa ilmu menjadi satu bidang kajian. Sesudah
pendekatan sosiologis dan psikologis, misalnya, maka dilakukan juga pendekatan
antropologis. Keterlambatan pendekatan ini diduga sebagai akibat dominasi
pendekatan sosiologis yang sebagian besar memiliki kesejajaran dengan
pendekatan antropologis.
Menurut Payatos (1988: xi—xv), secara historis pendekatan antropologis dikemukakan
tahun 1977 dalam kongres 'Folklore and Literary Anthropology' yang berlangsung
di Calcutta. Sejumlah ilmuwan berbicara mengenai hubungan antara sastra dan
antropologi, yaitu: Fernando Fayatos, Tho-mas G. Winner, Stephane Sarkany,
Lucyjane Botscharow, Vin-cent Erickson, Irene Portis Winner, Regina Zilberman,
Kathe-rine Trumpener James Nyce, Annamaria Lammel dan Ilona Nagy, Werner
Enninger, Gyula David, William Boelhower, dan Francisco Loriggio.
Lahirnya pendekatan antropologis, didasarkan atas kenyataan, pertama,
adanya hubungan antara ilmu antropologi dengan bahasa. Kedua, dikaitkan dengan
tradisi lisan, baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkannya
sebagai objek yang penting. Oleh karena itu, dalam penelitian sastra lisan,
mitos, dan sistem religi, sering di antara kedua pendekatan terjadi tumpang
tindih. Masalah penting yang juga perlu dicatat, sebagaimana juga dalam
pendekatan sosiologis dan psikologis, pendekatan antropologis bukanlah aspek
antropologi 'dalam' sastra melainkan antropologi 'dari' sastra.
Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah
bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif,
di antaranya:
1.
Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda.
2.
Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel yang
paling Modern.
3.
Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya
individual maupun generasi.
4. Bentuk-bentuk mitos dan sistem
religi dalam karya sastra.
5. Pengaruh mitos, sistem religi,
dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan populer.
5.
Pendekatan
Historis
Dalam hubungan ini perlu
dibedakan antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan
novel sejarah. Sama dengan pendekatan-pendekatan lain di atas, pendekatan
historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang
dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga
sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah,
dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan sejarah paling
tepat digunakan untuk meneliti sastra sejarah dan novel sejarah. Meskipun
demikian bukan berarti bahwa karya sastra yang tidak dominan unsur-unsur
kesejarahannya tidak bisa dianalisis secara historis. Hakikat penelitian justru
terletak dalam menemukan gejala-gejala yang disembunyikan.
Pendekatan sejarah menelusuri
arti dan makna bahasa sebagaimana yang sudah tertulis, dipahami pada saat
ditulis, oleh pengarang yang benar-benar menulis, dan sebagainya. Dalam
hubungan ini perlu juga menghubungkannya dengan karya-karya lain. Berbeda
dengan sejarah sastra, pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah
bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga dapat diketahui
kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pendekatan histo ris dengan demikian
mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Dengan hakikat
imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan
refleksi zamannya. Tugas utama sejarah sastra adalah menempatkan karya sastra
dalam suatu tradisi, tetapi bagaimana cara menempatkannya adalah tugas
pendekatan, yang dibantu oleh teori dan metode.
Pendekatan historis sangat menonjol abad ke-19, dengan konsekuensi karya
sastra sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.
Dalam hubungan inilah pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan
kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama dengan
kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan sosial, politik,
ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Hakikat karya sastra adalah imajinasi
tetapi imajinasi memiliki konteks sosial dan sejarah.
Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah
sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya
sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra
individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa
masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis, di antaranya, sebagai
berikut.
1. Perubahan karya sastra dengan
bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang.
2.
Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3. Kedudukan pengarang pada saat
menulis.
4. Karya sastra sebagai wakil tradisi
zamannya.
6.
Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam
pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi
dalam pengertian Modern, khususnya menurut antropologi Frazerian dan psikologi
Jungian, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial
dan arketipe (Rohrberger dan Woods, 1971:11—13). Mitos adalah cerita anonim
yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan
sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita,
maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Karya
sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah
menifestasi mitos itu sendiri. Dikaitkan dengan strukturalisme genetik
Goldmann, misalnya, organisasi mitos terkandung dalam pandangan dunia.
Dalam menciptakan karya seni pada dasarnya para seniman memanfaatkan
ketaksadaran masa lampau, yang terdiri atas ketaksadaran personal, yang
diterima dalam kehidupan sekarang (ontogenesis) dan ketaksadaran
impersonal yang diterima melalui nenek moyang (filogenesis). Pengarang
dengan demikian mengarang berdasarkan mitos tertentu, mitos sebagai struktur.
Oleh karena itulah, menurut Plato, plot identik dengan mitos.
Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis
sebab memasukkan hampir semua unsur kebudayaan, seperti: sejarah, sosiologi,
antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Vredenbreght (1983: 5)
menyebutnya sebagai pendekatan holistis. Kecenderungan pendekatan multidisiplin
seperti di atas di satu pihak, intensitas studi kultural di pihak yang lain,
memberikan harapan yang lebih signifikan terhadap pendekatan mitopoik. Artinya,
pendekatan mitopoik bukanlah pendekatan gabungan yang tanpa arah, yaitu sebagai
akibat terlalu banyak memasukkan data. Dalam hubungan inilah diperlukan teori
dan metode, yang berfungsi untk mnegorganisasikan keseluruhan data yang masuk. Dengan kalimat lain, dalam pendekatan mitopoik peneliti harus
sadar bahwa keragaman data harus dipahami secara metodologis sehingga diperoleh
makna yang tunggal.
Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Indonesia, termasuk karya sastranya,
memberikan peluang yang juga menjanjikan bagi perkembangan pendekatan
mitopoik. Pemahaman sastra Indonesia adalah pemahaman menyeluruh terhadap
aspek-aspek kebudayaan yang melatarbelakanginya. Cara penelitian ini dengan
sendirinya sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif
dengan teori strukturalisme.
7.
Pendekatan
Ekspresif
Pendekatan ekspresif memiliki
sejumlah persamaan dengan pendekatan biografis dalam hal fungsi dan kedudukan
karya sastra sebagai manifestasi subjek kreator. Dikaitkan dengan proses
pengumpulan data penelitian, pendekatan ekspresif lebih mudah dalam
memanfaatkan data biografis dibandingkan dengan pendekatan biografi dalam
memanfaatkan data pendekatan ekspresif. Pendekatan biografis pada umumnya
menggunakan data primer mengenai kehidupan pengarang, oleh karena itulah,
disebut sebagai data historiografi. Sebaliknya pendekatan ekspresif lebih
banyak memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas
pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data literer. Untuk
menjelaskan hubungan antara pengarang, semestaan pembaca, dan karya sastra,
Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat komponen utama, dengan empat
pendekatan, yaitu: pendekatan ekspresif, mimetik, pragmatik, dan objektif.
Pendekatan ekspresif tidak
semata-mata memberikan perhatian terahadap bagaimana karya sastra itu
diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi
bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Apabila
wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri penyair dengan kualitas
pikiran dan perasaannya, maka wilayah studi ekspresif adalah diri penyair,
pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Dikaitkan dengan dominasi
ketak-sadaran manusia seperti disinggung di atas, maka pendekatan ekspresif
membuktikan bahwa aliran Romantik cenderung tertarik pada masa purba, masa
lampau, dan masa primitif kehidupan manusia. Melalui indikator kondisi
sosiokultural pengarang dan ciri-ciri kreativitas imajinatif karya sastra, maka
pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri
individualisme, nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya
sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.
Secara historis, sama dengan
pendekatan biografis, pendekatan ekspresif dominan abad ke-19, pada zaman
Romantik. Di Belanda dikenal melalui Angkatan 1880 (80-an), di Indonesia
melalui Angkatan 1930 (30-an), yaitu Pujangga Baru, yang dipelopori oleh
Tatengkeng, Amir Hamzah, dan Sa-nusi Pane, dengan dominasi puisi lirik. Menurut
Teeuw (1988: 167—168) tradisi ini masih berlanjut hingga Sutardji Calzoum
Bachri, tidak terbatas pada cipta sastra tetapi juga pada kritik sastra. Dalam
tradisi sastra Barat pendekatan ini pernah kurang mendapat perhatian, yaitu
selama abad Pertengahan, sebagai akibat dominasi agama Kristen, Karya sastra semata-mata
dianggap sebagai peniruan terhadap kebesaran Tuhan dengan konsekuensi manusia
sebagai pencipta harus selalu berada di bawah Sang Pencipta.
8.
Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimesis merupakan pendekatan
estetis yang paling primitif, Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato
dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman,
yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan
demikian karya seni berada di bawah kenyataan, Pandangan ini ditolak oleh
Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia,
sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun
dunianya sendiri.
Selama abad Pertengahan karya seni meniru alam dikaitkan dengan adanya
dominasi agama Kristen, di mana kemampuan manusia hanya berhasil untuk
meneladani ciptaan Tuhan, Teori estetis ini tidak hanya ada di Barat tetapi
juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra Indonesia, yaitu dalam
puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan alam. Dalam bentuk yang
berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis dan sosiologi sastra, karya
seni dianggap sebagai dokumen sosial Apabila kelompok Marxis memandang karya
seni sebagai refleksi, sebagaimana diintro-duksi oleh salah seorang tokohnya
yang terkemuka yaitu Lu-kacs, maka sosiologi sastra memandang kenyataan itu
sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan ini pendekatan mimesis
memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan
sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan
mimesis/khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.
Pendekatan mimesis Marxis merupakan pendekatan yang paling beragam
dan memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Meskipun demikian,
pendekatan ini sering dihindarkan sebagai akibat keterlibatan tokoh-tokohnya dalam
dunia politik. Di Indonesia, misalnya, selama hampir tiga dasawarsa, selama
kekuasaan Orde Baru, pendekatan ini seolah-olah terlarang. Baru sesudah zaman
reformasi pendekatan ini dimulai lagi, termasuk penerbitan karya sastra pengarang
Lekra seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Di Indonesia pendekatan
mimetik perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah kebudayaan.
Pemahaman terhadap ciri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat meningkatkan
kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan
kecemburuan sosial.
9.
Pendekatan
Pragmatis
Pendekatan pragmatis memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu
teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan
pragmatis dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek pragmatis dan
subjek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang berbagi objek yang sama, yaitu
karya sastra. Perbedaannya, pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara
terus-menerus fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang
dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang
proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis (rewritten).
Pendekatan pragmatis dengan
demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca
tersebut. Secara historis (Abrams, 1976:16) pendekatan pragmatik telah ada
tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Horatius). Meskipun demikian,
secara teoretis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi
strukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis, yaitu
pembaca (Mukarovsky).
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatis memiliki hu bungan yang cukup
dekat dengan sosiologi, yaitu daiam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca.
Pendekatan pragmatis memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra
dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya
sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan
pendekatan pragmatis memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatis
secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang
memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca,
maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, di
antaranya berbagai-bagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya
sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka
sinkronis . maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian besar
bertumpu pada kompetensi pembaca sebab semata-mata pembacalah yang berhasil
untuk mengevokasi kekayaan khazanah kultural bangsa.
10. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif dibicarakan
paling akhir dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini justru merupakan pendekatan
yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra
modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur. Pendekatan
objektif mengindikasikan perkembangan pikiran manusia sebagai evolusi teori
selama lebih kurang 2.500 tahun. Evolusi ini berkembang sejak Aristoteles
hingga awal abad ke-20, yang kemudian menjadi revolusi teori selama satu abad,
yaitu awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21, dari strukturalisme
menjadi strukturalisme dinamik, resepsi, interteks, dekonstruksi, dan
postrukturalisme pada umumnya.
Pendekatan objektif merupakan
pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya
bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Secara historis pendekatan ini dapat
ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedi
terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. Organisasi
atas keempat unsur itulah yang kemudian membangun struktur cerita yang disebut
plot.
Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada
unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang
ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti
aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya,
termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut
analisis otonomi, analisis ergocentric, pembacaan mikroskopi. Pemahaman
dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertimbangkan
keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur dengan totalitas di
pihak yang lain.
Masuknya pendekatan objektif ke
Indonesia sekitar tahun 1960-an, yaitu dengan diperkenalkannya teori
strukturalisme, memberikan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam
rangka memahami karya sastra. Pendekatan objektif diaplikasikan ke dalam
berbagai bidang ilmu dan dunia kehidupan manusia, termasuk mode pakaian dan
menu makanan. Pendekatan yang dimaksudkan jelas membawa manusia pada
penemuan-penemuan baru, yang pada gilirannya akan memberikan masukan terhadap
perkembangan strukturalisme itu sendiri.
Dengan adanya penolakan terhadap
unsur-unsur yang ada di luarnya, maka masalah mendasar yang harus dipecahkan
dalam pendekatan objektif harus dicari dalam karya tersebut, seperti citra
bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan
kualitas estetis. Dalam fiksi, misalnya, yang dicari adalah unsur-unsur plot,
tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya. Melalui pendekatan
objektif, unsur-unsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentar yang baik:
=> tidak mengandung sara
=> sopan
=> tidak berbau porno grafi, baik dalam bentuk gambar, link URL, Video.
=> tidak mengandung spam
maaf apabila komentar anda kami hapus atau tidak kami tampilkan