Cari

HIBURAN

DAFTAR ISI

Download


Minggu, 09 Desember 2012

Pendekatan Sastra dan Problematikanya


Download dalam bentuk Word
Jenis-Jenis Pendekatan.DOCX
Download PPT untuk presentasi
Presentasi .PPTX
Cara Download "Klik Link di atas tunggu 5 detik sampai keluat kata Skip, baru klik Skip"
  
Seperti telah disinggung di depan, pada umumnya pen­dekatan disamakan dengan metode. Dalam pembicaraan ini pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan metode adalah efisiensi, dengan cara menyederhanakan. Dengan memanfa­atkan metode dan teori yang baru, tujuan pendekatan adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itulah, pendekatan lebih dekat de­ngan bidang studi tertentu.

Pendekatan perlu dikemukakan secara agak luas dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Dalam pendekatan ter­kandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik se­cara teoretis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Dalam pende­katan juga terkandung kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi be­rikutnya. Pendekatan sosiologi sastra jelas berbeda dengan psikologi sastra, pendekatan ekspresif berbeda dengan prag­matik, disebabkan dari sudut mana peneliti memandangnya, kendala-kendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian, dan kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap hasil penelitian.

Penelitian sebagian besar, bahkan secara keseluruhan di­tentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah per­tama dalam mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itulah, dalam pembicaraan ini pendekatan dikemukakan secara agak luas. Seperti telah disinggung di atas, pendekatan dibedakan baik dengan teori maupun metode. Pada dasarnya dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan menda­hului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pen­dekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, kemu­dian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode, dan tekniknya. Pembicaraan terhadap novel Belenggu, misalnya, peneliti diasumsikan telah memiliki paradigma sastra sebagai hasil imajinasi. Dengan hakikat imajinasi maka penelitian di­lakukan melalui pemahaman, bukan pembuktian. Langkah berikutnya adalah menentukan model pendekatannya, yang diikuti dengan penentuan pemilihan teori, metode, dan tek­nik. Dalam pembicaraan berikut, pendekatan akan menjadi jelas keberadaannya sesudah dihubungkan dengan teori yang akan dikemukakan pada bagian berikut.

Pendekatan juga mengarahkan penelusuran sumber-sum­ber sekunder, sehingga peneliti dapat memprediksikan lite­ratur yang harus dimiliki, perpustakaan dan toko-toko buku yang akan menjadi objek sasarannya. Model-model pendekat­an perlu dibedakan secara jelas, baik dengan metode dan teori seperti di atas, maupun di antara model-model pende­katan yang lain. Masalah pendekatan dalam ilmu sastra di Indonesia perlu mendapat perhatian yang lebih serius dengan pertimbangan bahwa dalam sastra Indonesia penelitian se­olah-olah lebih bersifat praktis daripada teoretis. Hal ini di­akibatkan oleh keberadaan sastra Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kebudayaan di satu pihak, ku­rangnya pemahaman mengenai teori sastra di pihak yang lain. Seperti diketahui, khazanah sastra semata-mata didominasi oleh perdebatan pendapat antara menerima dan menolak teori sastra Barat, dibandingkan dengan menciptakan teori baru yang khas Indonesia. Atas dasar penjelasan di atas, maka model pendekatan sastra yang perlu dikemukakan, di antara­nya: pendekatan biografi sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, historis, dan mitopoik, termasuk pendekatan model Abrams, yaitu ekspresif, pragmatik, mi­metik, dan objektif.
1.         Pendekatan Biografis
Menurut Wellek dan Warren (1962: 75), model biografis dianggap sebagai pendekatan yang tertua. Pendekatan bio­grafis merupakan studi yang sistematis mengenai proses krea­tivitas. Subjek kreator dianggap sebagai asal-usul karya sastra, arti sebuah karya sastra dengan demikian secara relatif sama dengan maksud, niat, pesan, dan bahkan tujuan-tujuan ter­tentu pengarang. Penelitian harus mencantumkan biografi, surat-surat, dokumen penting pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang. Karya sastra pada gilirannya identik dengan riwayat hidup, pernyataan-per­nyataan pengarang dianggap sebagai suatu kebenaran, biografi mensubordinasikan karya. Oleh karena itu, pendekatan biografis sesungguhnya merupakan bagian penulisan sejarah, sebagai historiografi.

Sebagai anggota masyarakat, pengarang dengan sendiri­nya lebih berhasil untuk melukiskan masyarakat di tempat ia tinggal, lingkungan hidup yang benar-benar dialaminya secara nyata. Oleh karena itulah, seperti juga ilmuwan dari disiplin yang lain dalam mengungkapkan gejala-gejala sosial, penga­rang juga dianggap perlu untuk mengadakan semacam 'pene­litian' yang kemudian secara interpretatif imajinatif diangkat ke dalam karya seni.

Oleh karena itu pula, dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakanm tiga macam pengarang, yaitu:
1.    pengarang yang mengarang berdasarkan pengalam­an langsung,
2.    pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsur-unsur pence­ritaan, dan
3.    pengarang yang mengarang berdasarkan ke­kuatan imajinasi.

Meskipun demikian, proses kreativitas pada umumnya didasarkan atas gabungan di antara ketiga faktor tersebut.

Manusia, dan dengan sendirinya pengarang itu sendiri, adalah makhluk sosial. Meskipun sering ditolak, dalam kasus-kasus tertentu biografi masih bermanfaat. Dalam ilmu sastra, biografi pengarang, bukan curriculum vitae, membantu untuk memahami proses kreatif, genesis karya seni. Biografi mem­perluas sekaligus membatasi proses analisis. Dalam ilmu so­sial, pada umumnya biografi dimanfaatkan dalam kaitannya dengan latar belakang proses rekonstruksi fakta-fakta, mem­bantu menjelaskan pikiran-pikiran seorang ahli, seperti: sistem ideologis, paradigma ilmiah, pandangan dunia, dan kerangka umum sosial budaya yang ada di sekitarnya.

Dikaitkan dengan pemahaman sosiologi ilmu pengetahu­an (Berger dan Luckmann, 1973: 85—86), pada dasarnya ha­nya sebagian kecil dari keseluruhan pengalaman yang berhasil tersimpan dalam kesadaran manusia. Biografi merupakan se­dimentasi pengalaman-pengalaman masa lampau, baik per­sonal, sebagai pengalaman individual, maupun kolektif, sebagai pengalaman intersubjektif, yang pada saat-saat tertentu akan muncul kembali. Tanpa sedimentasi, individu tidak da­pat mengenali biografinya. Melalui sistem tanda, khususnya sistem tanda bahasa, sedimentasi pengetahuan ditransmisikan ke dalam aktivitas yang berbeda-beda. Moral, religi, karya seni dalam berbagai bentuknya, dan sebagainya, merupakan hasil seleksi sedimentasi pengalaman masa lampau. Makin kaya dan beragam isi sedimentasi yang berhasil untuk dire­kam, makin lengkaplah catatan biografi yang berhasil dila­kukan.

Apabila analisis sosiologis berusaha memahami struktur biografi sebagai bagian integral subjek kreator dalam struktur sosial, analisis sastra secara otonom memahaminya sebagai gejala yang komplementer, pengarang sebagai depersonali­sasi. Sejak lahirnya strukturalisme, baik sebagai metode mau­pun teori, biografi dianggap sebagai pengertian ambivalensi, bahkan sebagai kekeliruan biografi. Penolakan yang paling mendasar terhadap eksistensi subjek kreator dilakukan dalam sastra kontemporer, yang disebut kematian pengarang, se­bagai anonimitas. Barthes (1977:145), misalnya, mengatakan bahwa proses pembacaan yang berhasil justru dengan membayangkan pengarangnya tidak hadir. Dengan kematian sub­jek kreator, maka karya sastralah yang menjadi pusat per­hatian.

Berdasarkan penjelasan di atas, analisis kontemporer me­mandang subjek kreator sekaligus sebagai individu dan ang­gota masyarakat. Dalam masing-masing individu terkandung dua unsur yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu unsur jasmaniah dan rohaniah, unsur intelektualitas dan emosionalitas, kesadaran individu dan kolektif. Seniman memberikan perhatian yang mendalam terhadap kedua unsur, menampilkannya dalam posisi yang seimbang, ke dalam to­talitas karya, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam kehidupan praktis sehari-hari, pengarang memiliki posisi yang tinggi. Kepengarangan dengan demikian dikaitkan dengan kualitas rohaniah, seperti intelektualitas dan emosio­nalitas, moral dan spiritual, didaktis dan ideologis, yang pada umumnya diasumsikan sebagai memiliki ciri-ciri positif. Pengarang dalam hal ini dianggap memiliki fungsi ganda, kom­petensi dalam merekonstruksi struktur bahasa sebagai me­dium, sekaligus menopang stabilitas struktur sosial. Oleh ka­rena itulah, pengarang juga disebut sebagai pujangga, empu, dan kawi. Fungsi-fungsi elemental pengarang seperti di atas mendorong penelitian pada pemahaman total terhadap sub­jek. Analisis tidak terbatas pada karya, melainkan melangkah lebih jauh pada penelusuran identitas personal, sebagai bio­grafi. Seperti disinggung di atas, zaman keemasan studi bio­grafi adalah abad ke-19.

Dikaitkan dengan perkembangannya di Barat, pengarang ternyata memiliki sejarahnya yang sangat panjang. Menurut Teeuw (1988: 155-169), pengarang telah dibicarakan sejak abad pertama, melalui tulisan Longinus, yang menjelaskan peranan perasaan dalam proses mencipta. Gagasan ini muncul kembali dan mengalami zaman keemasan pada abad ke-19, pada abad Romantik. Pendekatan biografis mulai ditinggalkan awal abad ke-20 sejak dimanfaatkannya teori strukturalisme. Seperti diketahui, ciri khas strukturalisme adalah analisis ergo-centric, analisis yang sama sekali menolak relevansi unsur-unsur di luarnya, termasuk biografi pengarang. Konsekuensi logis yang ditimbulkannya adalah lahirnya berbagai teori yang berusaha mendekonstruksi peranan pengarang, seperti: kekeliruan intensi pengarang (Wimsatt dan Beardsley), kelas sosial pengarang (Goldmann), pengarang tersirat (Wayne Booth), peranan sudut pandang (Percy Lubbock), enam fungsi bahasa (Jakobson), peranan tindak kata (Pratt). Teori resepsi dan interteks, dan yang terpenting sekaligus paling tendensius adalah kematian pengarang (Roland Barthes), jelas menolak peranan pengarang secara langsung. Di Indonesia pendekat­an biografis sangat populer sebelum tahun 1960-an, sebelum masuknya teori-teori strukturalisme.

2.         Pendekatan Sosiologis
Berbeda dengan pendekatan biografis yang semata-mata menganalisis riwayat hidup, dengan proses pemahaman mu­lai dari individu ke masyarakat, pendekatan sosiologis meng­analisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemaham­an mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan biografis menganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat.

Pendekatan sosiologis, sepanjang sejarahnya, khususnya di dunia Barat selalu menduduki posisi penting. Hanya selamakurang dari satu abad, yaitu abad ke-20, pada saat struktural­isme menduduki posisi dominan, pendekatan sosiologis se­olah-olah terlupakan. Pendekatan sosiologis kembali diper­timbangkan dalam era postrukturalisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masya­rakat, dan c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

Perkembangan pesat ilmu humaniora memicu perkem­bangan studi sosiologis. Dasar pertimbangannya adalah mem­berikan keseimbangan terhadap dua dimensi manusia, yaitu jasmani dan rohani. Para ilmuwan kontemporer makin me­nyadari bahwa mengabaikan aspek-aspek rohaniah pada gilir­annya membawa umat manusia pada degradasi mental, bah­kan kehancuran.

Sesuai dengan hakikatnya, sebagai sumber estetika dan etika, karya sastra tidak bisa digunakan secara langsung. Se­bagai sumber estetika dan etika karya sastra hanya bisa me­nyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Apabila manusia sudah tidak mungkin untuk mencari kebenaran melalui logika, ilmu pengetahuan, bahkan agama, maka hal ini diharapkan dapat terjadi dalam karya sastra. Dalam sastra, sebagai kualitas imajinatif, setiap manu­sia dapat membayangkan dirinya menjadi orang kaya raya, raja, bahkan dewa.

Pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indone­sia, baik lama maupun modern menjanjikan lahan penelitian yang tidak akan pernah kering. Setiap hasil karya, baik dalam skala angkatan maupun individual, memiliki aspek-aspek so­sial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model-model pemahaman sosial. Ilmu pengetahuan lain, seperti sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu sosial justru menunggu hasil-hasil analisis melalui pendekatan sosisologis yang akan digu­nakan untuk membantu memahami gender, feminis, status peranan, wacana sosial, dan sebagainya. Pendekatan sosio­logis juga memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Oleh karena itulah, pendekatan ini disenangi oleh tradisi Marxis, tradisi Lekra di Indonesia. Bagi mereka, aspek estetis karya dianggap memiliki kekuatan besar dalam mengorgani­sasikan massa. Teori-teori sosial modern pada gilirannya ban­yak ditemukan oleh kelompok Marxis, seperti Lukacs, Gold-mann, Eagleton, Bakhtin, Althusser, Medvedev, dan Jameson, termasuk Marx sendiri.

3.         Pendekatan Psikologis
Rene Wellek dan Austin Warren (1962:81—82) menunjuk­kan empat model pendekatan psikologis, yang dikaitkan de­ngan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu: pengarang, kar­ya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pen­dekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan penga­rang dan karya sastra. Apabila perhatian ditujukan pada pe­ngarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan pen­dekatan ekspresif, sebaliknya, apabila perhatian ditujukan pada karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan objektif.

Pendekatan psikologis awal lebih dekat dengan pende­katan biografis dibandingkan dengan pendekatan sosiologis sebab analisis yang dilakukan cenderung memanfaatkan data-data personal. Proses kreatif merupakan salah satu model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis. Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan, seperti: obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itulah, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala (penyakit) kejiwaan. Pendekatan psikologis kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Mead, Cooley, Le-win, dan Skinner (Schellenberg, 1997), mulai memberikan per­hatian pada ineraksi antarindividu, sebagai interaksi simbolis, sehingga disebutkan sebagai analisis psikologi sosial.

Intensitas terhadap gejala-gejala individual di satu pihak, dominasi psike di pihak lain, menyebabkan pendekatan psiko­logis lebih banyak membicarakan aspek-aspek penokohan, kecenderungan timbulnya aliran-aliran, seperti romantisisme, ekspresionisme, absurditas, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam penelitian selanjutnya teori-teori psikologi perlu diper­luas ke dalam wilayah sosiopsikologi dan behaviorisme sosial sebagaimana dikembangkan kemudian oleh Freud sendiri, khususnya oleh Mead.

Sampai saat ini teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologi Sig-mund Freud (1856—1939). Menurutnya, semua gejala yang bersifat mental bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam kesadaran (Schellenberg, 1997: 18). Dengan adanya ketakse-imbangan, maka ketaksadaran menimbulkan dorongan-do­rongan yang pada gilirannya memerlukan kenikmatan, yang disebut libido. Oleh karena proses kreatif adalah kenikmatan, dan memerlukan pemuasan, maka proses tersebut dianggap sejajar dengan libido. Meskipun demikian, teori kepribadian menurut Freud pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu: a) ld atau Es, b) Ego atau Ich, dan c) Super Ego atau Uber Ich. Isi Id adalah dorongan-dorongan primitif yang harus dipuas­kan, salah satunya adalah libido di atas. ld dengan demikian merupakan kenyataan subjektif primer, dunia batin sebelum individu memiliki pengalaman tentang dunia luar. Ego bertu­gas untuk mengontrol ld, sedangkan Super Ego berisi kata hati.

Meskipun pada awalnya pendekatan psikologis dianggap agak sulit untuk berkembang, tetapi dengan makin dimina­tinya pendekatan multidisiplin di satu pihak, pemahaman baru terhadap teori-teori psikologi sastra di pihak yang lain, maka pendekatan psikologis diharapkan dapat menghasilkan model-model penelitian yang lebih beragam. Menurut Milner (1980: ix—xiv) pada dasarnya penelitian Freud memberikan tempat yang sentral terhadap sastra, bukan sampingan seperti diduga orang. Freud bertumpu pada Oedipus Sang Raja karya Sophokles, dan ketaksadaran karya seni khususnya karya sas­tra. Dalam proses penelitian, sebagai psikoanalisis Freud ber­tumpu pada a) bahasa pasien, jadi juga keterlibatan sastra, b) memakai objek rnimpi, fantasi, dan mite, yang dalam sastra ketiganya merupakan sumber imajinasi.
4.         Pendekatan Antropologis
Apabila sosiologi adalah ilmu pengetahuan mengenai ma­syarakat, maka antropologi adalah ilmu pengetahuan menge­nai manusia dalam masyarakat. Oleh karena itulah, antropo­logi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi ke­budayaan, yang sekarang berkembang menjadi studi kultural. Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi kebudayaan pun dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal.

Makin diminatinya model-model pendekatan multidisi­pliner menyebabkan para ilmuwan secara terus-menerus men­coba untuk menggabungkan beberapa ilmu menjadi satu bi­dang kajian. Sesudah pendekatan sosiologis dan psikologis, misalnya, maka dilakukan juga pendekatan antropologis. Keterlambatan pendekatan ini diduga sebagai akibat dominasi pendekatan sosiologis yang sebagian besar memiliki keseja­jaran dengan pendekatan antropologis.

Menurut Payatos (1988: xi—xv), secara historis pende­katan antropologis dikemukakan tahun 1977 dalam kongres 'Folklore and Literary Anthropology' yang berlangsung di Calcutta. Sejumlah ilmuwan berbicara mengenai hubungan antara sastra dan antropologi, yaitu: Fernando Fayatos, Tho-mas G. Winner, Stephane Sarkany, Lucyjane Botscharow, Vin-cent Erickson, Irene Portis Winner, Regina Zilberman, Kathe-rine Trumpener James Nyce, Annamaria Lammel dan Ilona Nagy, Werner Enninger, Gyula David, William Boelhower, dan Francisco Loriggio.

Lahirnya pendekatan antropologis, didasarkan atas kenya­taan, pertama, adanya hubungan antara ilmu antropologi de­ngan bahasa. Kedua, dikaitkan dengan tradisi lisan, baik antro­pologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkannya sebagai objek yang penting. Oleh karena itu, dalam penelitian sastra lisan, mitos, dan sistem religi, sering di antara kedua pendekatan terjadi tumpang tindih. Masalah penting yang juga perlu dicatat, sebagaimana juga dalam pendekatan sosiologis dan psikologis, pendekatan antropologis bukanlah aspek antro­pologi 'dalam' sastra melainkan antropologi 'dari' sastra.

Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pende­katan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di antaranya:
1.    Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda.
2.    Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hing­ga novel yang paling Modern.
3.    Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.
4.    Bentuk-bentuk mitos dan sistem religi dalam karya sastra.
5.    Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan populer.

5.              Pendekatan Historis
Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel seja­rah. Sama dengan pendekatan-pendekatan lain di atas, pen­dekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang, sastra seja­rah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur se­jarah, dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan sejarah paling tepat digunakan untuk meneliti sastra sejarah dan novel sejarah. Meskipun demikian bukan berarti bahwa karya sastra yang tidak dominan unsur-unsur kesejarahannya tidak bisa dianalisis secara historis. Hakikat penelitian justru terletak dalam menemukan gejala-gejala yang disembunyikan.

Pendekatan sejarah menelusuri arti dan makna bahasa sebagaimana yang sudah tertulis, dipahami pada saat ditulis, oleh pengarang yang benar-benar menulis, dan sebagainya. Dalam hubungan ini perlu juga menghubungkannya dengan karya-karya lain. Berbeda dengan sejarah sastra, pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah bagaimana hu­bungannya terhadap karya yang lain, sehingga dapat dike­tahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pendekatan histo ris dengan demikian mempertimbangkan relevansi karya sas­tra sebagai dokumen sosial. Dengan hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian meru­pakan refleksi zamannya. Tugas utama sejarah sastra adalah menempatkan karya sastra dalam suatu tradisi, tetapi bagai­mana cara menempatkannya adalah tugas pendekatan, yang dibantu oleh teori dan metode.

Pendekatan historis sangat menonjol abad ke-19, dengan konsekuensi karya sastra sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Dalam hubungan inilah pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerak­an sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Hakikat karya sastra adalah imajinasi tetapi imajinasi memiliki konteks sosial dan sejarah.

Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan im­plikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka be­berapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan his­toris, di antaranya, sebagai berikut.
1.      Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang.
2.    Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3.      Kedudukan pengarang pada saat menulis.
4.      Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.

6.         Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopoic berasal dari myth. Mitos da­lam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian Modern, khususnya menurut antropologi Frazerian dan psikologi Jungian, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra pri­mordial dan arketipe (Rohrberger dan Woods, 1971:11—13). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai ima­jinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Karya sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah menifestasi mitos itu sen­diri. Dikaitkan dengan strukturalisme genetik Goldmann, mi­salnya, organisasi mitos terkandung dalam pandangan dunia.
Dalam menciptakan karya seni pada dasarnya para seni­man memanfaatkan ketaksadaran masa lampau, yang terdiri atas ketaksadaran personal, yang diterima dalam kehidupan sekarang (ontogenesis) dan ketaksadaran impersonal yang di­terima melalui nenek moyang (filogenesis). Pengarang dengan demikian mengarang berdasarkan mitos tertentu, mitos se­bagai struktur. Oleh karena itulah, menurut Plato, plot iden­tik dengan mitos.

Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik di­anggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua un­sur kebudayaan, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, psiko­logi, agama, filsafat, dan kesenian. Vredenbreght (1983: 5) menyebutnya sebagai pendekatan holistis. Kecenderungan pendekatan multidisiplin seperti di atas di satu pihak, inten­sitas studi kultural di pihak yang lain, memberikan harapan yang lebih signifikan terhadap pendekatan mitopoik. Artinya, pendekatan mitopoik bukanlah pendekatan gabungan yang tanpa arah, yaitu sebagai akibat terlalu banyak memasukkan data. Dalam hubungan inilah diperlukan teori dan metode, yang berfungsi untk mnegorganisasikan keseluruhan data yang masuk. Dengan kalimat lain, dalam pendekatan mitopoik peneliti harus sadar bahwa keragaman data harus dipahami secara metodologis sehingga diperoleh makna yang tunggal.
Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Indonesia, ter­masuk karya sastranya, memberikan peluang yang juga men­janjikan bagi perkembangan pendekatan mitopoik. Pema­haman sastra Indonesia adalah pemahaman menyeluruh ter­hadap aspek-aspek kebudayaan yang melatarbelakanginya. Cara penelitian ini dengan sendirinya sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif dengan teori strukturalisme.
7.         Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan de­ngan pendekatan biografis dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek kreator. Dikaitkan dengan proses pengumpulan data penelitian, pendekatan eks­presif lebih mudah dalam memanfaatkan data biografis di­bandingkan dengan pendekatan biografi dalam memanfaat­kan data pendekatan ekspresif. Pendekatan biografis pada umumnya menggunakan data primer mengenai kehidupan pengarang, oleh karena itulah, disebut sebagai data historio­grafi. Sebaliknya pendekatan ekspresif lebih banyak meman­faatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data literer. Untuk menjelaskan hubungan antara pengarang, semestaan pembaca, dan karya sastra, Abrams membuat dia­gram yang terdiri atas empat komponen utama, dengan em­pat pendekatan, yaitu: pendekatan ekspresif, mimetik, prag­matik, dan objektif.

Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan per­hatian terahadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Apabila wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri pe­nyair dengan kualitas pikiran dan perasaannya, maka wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Dikaitkan dengan dominasi ketak-sadaran manusia seperti disinggung di atas, maka pendekatan ekspresif membuktikan bahwa aliran Romantik cenderung tertarik pada masa purba, masa lampau, dan masa primitif kehidupan manusia. Melalui indikator kondisi sosiokultural pengarang dan ciri-ciri kreativitas imajinatif karya sastra, maka pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.

Secara historis, sama dengan pendekatan biografis, pen­dekatan ekspresif dominan abad ke-19, pada zaman Roman­tik. Di Belanda dikenal melalui Angkatan 1880 (80-an), di Indonesia melalui Angkatan 1930 (30-an), yaitu Pujangga Ba­ru, yang dipelopori oleh Tatengkeng, Amir Hamzah, dan Sa-nusi Pane, dengan dominasi puisi lirik. Menurut Teeuw (1988: 167—168) tradisi ini masih berlanjut hingga Sutardji Calzoum Bachri, tidak terbatas pada cipta sastra tetapi juga pada kritik sastra. Dalam tradisi sastra Barat pendekatan ini pernah ku­rang mendapat perhatian, yaitu selama abad Pertengahan, sebagai akibat dominasi agama Kristen, Karya sastra semata-mata dianggap sebagai peniruan terhadap kebesaran Tuhan dengan konsekuensi manusia sebagai pencipta harus selalu berada di bawah Sang Pencipta.

8.         Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif, Akar sejarah­nya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Me­nurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalam­an, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenya­taan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan, Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa ma­nusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni ber­usaha membangun dunianya sendiri.

Selama abad Pertengahan karya seni meniru alam dikait­kan dengan adanya dominasi agama Kristen, di mana kemam­puan manusia hanya berhasil untuk meneladani ciptaan Tu­han, Teori estetis ini tidak hanya ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial Apabila kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, sebagaimana diintro-duksi oleh salah seorang tokohnya yang terkemuka yaitu Lu-kacs, maka sosiologi sastra memandang kenyataan itu sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan ini pende­katan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosio­logis. Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimesis/khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.

Pendekatan mimesis Marxis merupakan pendekatan yang paling beragam dan memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Meskipun demikian, pendekatan ini sering dihindarkan sebagai akibat keterlibatan tokoh-tokohnya da­lam dunia politik. Di Indonesia, misalnya, selama hampir tiga dasawarsa, selama kekuasaan Orde Baru, pendekatan ini seolah-olah terlarang. Baru sesudah zaman reformasi pende­katan ini dimulai lagi, termasuk penerbitan karya sastra pe­ngarang Lekra seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Di Indonesia pendekatan mimetik perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah kebudayaan. Pema­haman terhadap ciri-ciri kebudayaan kelompok yang lain da­pat meningkatkan kualitas solidaritas sekaligus menghapus­kan berbagai kecurigaan dan kecemburuan sosial.

9.         Pendekatan Pragmatis
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama ter­hadap peranan pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan pragmatis dipertentangkan dengan pen­dekatan ekspresif. Subjek pragmatis dan subjek ekspresif, se­bagai pembaca dan pengarang berbagi objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaannya, pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus-menerus fungsi-fungsinya dihi­langkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Seba­liknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis (rewritten).

Pendekatan pragmatis dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara historis (Abrams, 1976:16) pendekatan prag­matik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Horatius). Meskipun demikian, secara teoretis dimulai de­ngan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi strukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis, yaitu pembaca (Mukarovsky).

Pada tahap tertentu pendekatan pragmatis memiliki hu bungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu daiam pem­bicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan prag­matis memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indi­kator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatis memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragma­tis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resep­si, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.

Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan memper­timbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka ma­salah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai-bagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis . maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian be­sar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab semata-mata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan kha­zanah kultural bangsa.

10.      Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif dibicarakan paling akhir dengan per­timbangan bahwa pendekatan ini justru merupakan pende­katan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur. Pendekatan objektif mengindikasikan perkembangan pikiran manusia sebagai evo­lusi teori selama lebih kurang 2.500 tahun. Evolusi ini berkem­bang sejak Aristoteles hingga awal abad ke-20, yang kemu­dian menjadi revolusi teori selama satu abad, yaitu awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21, dari strukturalisme menjadi strukturalisme dinamik, resepsi, interteks, dekonstruksi, dan postrukturalisme pada umumnya.

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang ter­penting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada da­sarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Secara historis pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles de­ngan pertimbangan bahwa sebuah tragedi terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. Or­ganisasi atas keempat unsur itulah yang kemudian memba­ngun struktur cerita yang disebut plot.

Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan per­hatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pende­katan objektif juga disebut analisis otonomi, analisis ergocentric, pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertim­bangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak yang lain.

Masuknya pendekatan objektif ke Indonesia sekitar tahun 1960-an, yaitu dengan diperkenalkannya teori strukturalisme, memberikan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam rangka memahami karya sastra. Pendekatan objektif diaplika­sikan ke dalam berbagai bidang ilmu dan dunia kehidupan manusia, termasuk mode pakaian dan menu makanan. Pen­dekatan yang dimaksudkan jelas membawa manusia pada penemuan-penemuan baru, yang pada gilirannya akan mem­berikan masukan terhadap perkembangan strukturalisme itu sendiri.

Dengan adanya penolakan terhadap unsur-unsur yang ada di luarnya, maka masalah mendasar yang harus dipecah­kan dalam pendekatan objektif harus dicari dalam karya ter­sebut, seperti citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan kualitas estetis. Dalam fiksi, misalnya, yang dicari adalah unsur-unsur plot, tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya. Melalui pen­dekatan objektif, unsur-unsur intrinsik karya akan dieksploi­tasi semaksimal mungkin.

Daftar Pustaka


Abrams, M.H. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press.

Abrams, M.H. 1993 . A Glossary of Literary Terms. Fort Worth: Harcourt Brace Press.

Aminuddin. 1995. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru

Algensindo.Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
 

separador

0 komentar:

Posting Komentar

berkomentar yang baik:
=> tidak mengandung sara
=> sopan
=> tidak berbau porno grafi, baik dalam bentuk gambar, link URL, Video.
=> tidak mengandung spam

maaf apabila komentar anda kami hapus atau tidak kami tampilkan

WAKTU

IKUTI